Terbentuknya Kampung
Kerema
Kerema
adalah nama salah satu kampung di Distrik/Kecamatan Benuki Kabupaten Mamberamo
Raya. Untuk sampai ke kampung Kerema melalui Serui dengan menggunakan boat
selama kurang lebih 5 jam melewati Selat Saireri dan meyusuri hutan bakau melalui
kali Bime hingga menyatu dengan kali Gesa lokasi dimana kampung Kerema berada
sekitar 7 km dari tepi kali Gesa.
Orang Kerema terdiri dari dua suku besar yaitu
suku Oedate dan suku Aigori atau Zagoi. Kedua suku ini bergabung menjadi
kampung Kerema dengan latar belakang saling melindungi dari perang suku. Lokasi
Kampung Kerema adalah milik suku Oedate. Bahasa yang digunakan disebut bahasa
Oedaida.
Perpindahan
dari lokasi kampung yang menjadi
wilayah adat suku Oedate diawali dengan cerita tentang dua orang anak laki-laki
dan perempuan yang dipelihara oleh kakek/tete dan neneknya di kampung tua
Damahe karena ayah ibu mereka telah meninggal. Anak laki-laki bernama Kinikoba
dan perempuan bernama Waoha. Suatu ketika masyarakat kampung membuat pesta
besar selama beberapa hari. Kedua anak ini ingin sekali untuk pergi ke pesta
tersebut namun dilarang oleh kakek dan neneknya karena nanti kedua anak ini tidak
diberi makan oleh orang-orang di pesta itu. Peristiwa itupun terjadi. Hari
pertama saat pesta, orang kampung memukul tifa dan menari, lalu beristirahat
untuk makan. Ketika merak makan, kedua anak ini hanya diberikan sisa-sia
makanan mereka yaitu tulang-tulang dan tempurung kelapa. Hari berikutnya
terjadi seperti demikian, hingga hari ketiga. Kedua anak ini pun tidak tahan
dan memberitahukan kepada kakek meraka. Merasa tersinggung dengan apa yang
dibuat oleh orang kampung kepada kedua cucunya maka si kakek membuat rencana
khusus bagi orang kampung melalui manteranya. Ia mengambil seekor ikan gabus
dari sungai, lalu menaruhnya didalam nibung yang telah diisi air dan ia memberi
mantra gaib pada ikan gabus tersebut sehingga berubah menjadi buaya. Hal ini
dicobanya beberap kali dan berhasil. Kemudian Ia mengatur rencana dengan
menyiapkan akar pohon kayu merah, sagu mentah dan anakan sagu, tombak, dan
penokok, lalu ia menaruh kedua cucunya diatas akar tersebut, setelah itu ia
membuat manteranya. Ketika ia membaca manteranya maka terjadilah banjir besar,
ikan gabus berubah menjadi buaya yang sangat ganas. Tempat dimana buaya itu
berjalan diikuti oleh air dan banjir. Buaya itupun masuk ke tempat pesta dan
banjirpun ikut naik dan buaya itu memakan habis semua orang kampung termasuk
kakek dan nenek tersebut. Saat banjir terjadi, kedua anak ini telah berada
diatas akar kayu merah yang telah disiapkan oleh kakek mereka besarta bekal
yang mereka miliki. Kedua anak ini hanyut dari lokasi Damahe dan terdampar di
Tanjung Rande ujung Pulau Kaipuri. Lalu kedua anak ini tinggal dan membuka
kebun dengan menanam bibit sagu yang hanyut bersama mereka. Mereka membuat
perahu besar dari akar kayu merah tersebut. Saat mereka tinggal, datanglah dua
orang dari kampung Kaipuri yaitu kakak
beradik laki-laki dan perempuan. Mereka pun sepakat untuk kawin tukar antar
kedua kakak beradik tersebut.
Dari
hasil perkawinan ini meraka memiliki anak yang banyak. Menyadari bahwa tempat
mereka tinggal bukanlah milik mereka maka kedua kakak beradik Kinikoba dan
Waoha memanggil anak dan cucu mereka
lalu memberi perintah kepada mereka untuk kembali ke lokasi asal mereka di
Damahe. Si laki-laki menunjuk gunung Womisopedai yang terlihat kebiru-biruan
dari Pulau Kaipuri dan memberitahukan bahwa lokasi kampung tua mereka berada pada lembah disebalah timur
dari kaki gunung tersebut. Perahu besar
disiapkan dari kayu merah, lalu semua anak cucu naik diatas perahu tersebut
menuju ke tanah besar. Kedua kakak beradik yaitu Kinikoba dan Waoha ini tinggal
di ujung tanjung Kaipuri dan menjadi batu disana.
Dengan
perahu yang terbuat dari kayu merah generasi baru dari Kinikoba dan Waoha
berlayar hingga masuk ke Barapasi. Dari Barapasi mereka berjalan ke arah timur
untuk mencari lokasi kampung tua yang ditunjuk oleh Kinikoba.
Di
tengah jalan terjadilah pertengkaran diantara anak cucu mereka. Ketika musim
buah jambu merah anak-anak membuat jubi lalu memanah jambu. Salah seorang anak
terkena panah, terjadilah pertengkaran sehingga orang tua pun saling membela
anak meraka. Terbagilah dua kelompok, yang satu berjalan ke arah barat menuju
gunung Tonater dan tinggal menetap disana hingga sekarang. Kelompok yang satunya berjalan mencari lokasi kampung
tua Damahe.
Meraka
yang berjalan ke kampung tua Damahe melihat suatu lembah yang penuh dengan
pohon sagu dan beranggapan bahwa itulah lokasi kampung mereka yang ditunjuk
oleh Kinikoba moyang meraka. Lembah itu adalah lembah dikaki gungun Benuki.
Salah satu laki-laki dari orang Oedate ini memantau suatu lokasi lembah sagu
dan ternyata sudah ada kelompok masyarakat yang tinggal membentuk kampung,
mereka adalah orang Anasi.
Si
laki-laki ini mengambil buah sagu sebanyak mungkin lalu memasukkan didalam topi
kerucutnya. Ketika ia sampai di pondoknya, ia membaringkan diri dan membuat seperti
sakit demam. Isterinya memijatnya dan saat melepaskan topi kerucutnya jatulah
buah-buah sagu yang banyak. Beritapun tersebar bahwa ada lokasi yang subur
ditumbuhi oleh banyak sagu, namun ada perkampungan didalamnya. Maka orang-orang
Oedate ini menyiapkan busur dan anak panah selama sebulan. Laki-laki, perempuan
dan anak-anak semuanya menyiapkan peralatan perang dan makanan. Tibalah waktu
untuk menyerang. Orang Oedate memukul kalah orang Anasi dari lembah hingga
kampung mereka di Gunung Benuki. Mereka menduduki rumah-rumah orang Anasi dan
lokasi itu mereka menempati berdasarkan marga-marga yang menempati rumah-rumah
orang Anasi.
Dari
Benuki inilah terbentuklah kehidupan orang Oedate yang kemudian disebut sebagai
orang Kerema yang menetap sebagai sebuah kampung. Mereka mengambil sagu dari
dusun sagu Benuki yang luas dan kehidupan meraka menetap disana. Namun sejalan
dengan perkembangan waktu, orang Oedate ingin berkomunikasi dengan diluar untuk
mendapatkan barang-barang seperti parang, belanga maka meraka keluar dan
menetap di Ebahe ditepi kali Mewao dan membentuk kampung disana.
Ditepi
kali Mewao inilah awal mula hubungan dengan orang luar terutama para guru injil
yang memberitakan injil dan membentuk kampung dengan rumah-rumah yang permanen.
Di sini pula pemerintahan resmi masuk
menjamah orang-orang di lembah Benuki mulai dari Kerema, Anasi, Dadat, Baita
dan Nisa. Kampung Kerema adalah kampung Pemerintahan Pertama yang membawahi
beberapa kampung kecil yaitu Anasi, Dadat, Baita dan Nisa. Tahun 1971 diangkat
pertama kali kepala kampung yaitu Alm Bapak Dominggus Kedebak. Dibawah
kepemimpinananya ia menata Kampung Kerema dengan membangun Sekolah Dasar
pertama bersama pemerintah Kabupaten Yapen Waropen saat itu. Kehidupan mereka
berjalan baik hingga masuknya perusahaan HPH pada tahun 1994. Hutan mereka
dibabat dan kali-kali kecil menjadi dangkal mengakibatkan banjir, sehingga pada
tahun 1997 mereka pindah dari tepi kali Mewao dan membangun kampung dilokasi
tepi kali Sanawao hingga sekarang.
Suku
Aigori/Zagoi adalah orang-orang yang tinggal di Gunung Kiha atau Kiha Nohia
dengan nama kampung Zagonuhe dan bergabung bersama suku Oedate menjadi Kampung
Kerema. Cerita asal mereka bisa bergabung dengan suku Oedate, diawali dengan
perang suku berkepanjangan antara orang Aigori dengan orang Baudi. Karena
sering mengalami kekalahan maka suatu ketika suku Baudi mengatur rencana perang untuk
mengalahkan suku Aigori. Suku Baudi mengajak enam suku lain bergabung dengan
mereka. Lalu mereka mengajak orang Aigori untuk menukar budak. Kepala perang
suku Aigori bernama Zagaya memiliki anak mantu bernama Syadatea. Ketika orang
Baudi mengajak untuk pertukaran budak, Zagaya sedang mengalami sakit keras.
Anak mantunya Syadatea menawarkan diri untuk memimpin pasukan perang dan masyarakat
suku Aigori menghadapi orang Baudi.
Saat
perundinganpun tiba. Orang Baudi yang sudah memiliki rencana tersendiri memilih
lokasi pertukaran budak yang strategis untuk mengalahkan orang Aigori.
Perundingan dilakukan disebuah tanjung di kali Gesa. Orang Aigori tidak
menyadari bahwa ketika mereka masuk ke ujung tanjung tersebut, mereka telah
dikepung dari belakang oleh orang Baudi dengan bantuan enam suku lainnya. Tawar menawar dari sebelah-menyebelah sungai
diujung tanjung terjadi begitu lama dan sengaja diulur-ulur oleh orang Baudi
hingga memancing kemarahan dari Syadatea dan orang-orang Aigori. Merasa
dipermainkan dan ditipu, maka Syadatea memulai peperangan. Pertempuran begitu
dashyat dan saling menyerang dan tanpa disadari Syadatea dan pasukannya telah
diterkurung dari belakang dan mereka terdesak masuk ke sungai yang didepannya
juga ada orang Baudi. Terkurung dan terpukul kalah Syadatea dan orang-orang
Aigori. Hanya satu orang yang selamat, yaitu seorang perempuan tua yang
bersembunyi didalam lubang kura-kura. Ia membawa berita kepada Zagaya. Dan
Zagaya segera mencari bantuan, ia pun pergi dari Zagonuhe dan bertemu dengan
suku Oedate di Benuki dan kawin dengan salah satu perempuan dari suku Oedate
dan mendapatkan keturunan marga Zodat dan Ebakdat. Sejak itu mereka hidup
menjadi orang Oedate di Benuki dan mengalami perpindahan bersama suku Oedate
dari Benuki ke Tepi Kali Mewao dan pindah lagi ke Tepi Kali Sanawao yang
menjadi lokasi Kampung Kerema sekarang.
Tabel . Suku dan Marga di Kampung Kerema
No
|
Suku
|
Marga
|
1
|
Oedate
|
1.
Kedebak
2.
Babak
3.
Bubak
4.
Meumat
5.
Niabak
6.
Naodetom
|
2
|
Aigori/Zagoi
|
1.
Zodat
2.
Ebakdat
3.
Meudebak
|
Pemerintahan resmi Kampung Kerema dimulai tahun 1971 dengan
kepala kampung pertama almarhum Dominggus Kedebak yang memimpin hingga tahun
1994. Tahun 1994-2014 Kampung Kerema dipimpin oleh Permenas Meumat. Dan Tahun
2014 terjadi pemilihan kepala kampung baru dan mengangkat Gerson Zodat menjadi
kepala kampung Kerema yang baru. Sehingga kampung Kerema telah mengalami tiga
kali kepemimpinan kepala kampung.
Sumber: Wawancara Kepala Suku Aigori (Mesak Zodat dan Sekretaris Kampung Kerema Simson Babak)