Jumat, 13 Mei 2016

Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Persepsi Masyarakat Adat tentang Konservasi di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja (Studi pada Kampung Papasena Kabupaten Mamberamo Raya)


oleh: Yoseph Watopa

RINGKASAN
.

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja dengan luas 2.018.000 ha, sebelum  penetapan statusnya sebagai kawasan konservasi telah ada kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional dengan aturan adat yang berlaku termasuk kampung Papasena.  Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui dan mengidentifikasi pemanfaatan sumber daya alam masyarakat kampung Papasena di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja; (2) menghitung dan menganalisa nilai ekonomi tempat-tempat penting masyarakat adat adat kampung Papasena di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja; (3) mengkaji  Persepsi Masyarakat Kampung Papasena  tentang Konservasi dan Status Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja. Teknik pengambilan sampel melalui persentase yaitu 5% dari total populasi pada tahun 2015 sebanyak 620 orang sehingga sampel responden berjumlah 31 orang. Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Metode analisa data digunakan metode pendekatan harga pasar (market price=MP) untuk menghitung manfaat langsung dan tidak langsung, metode kontingensi (contingensi valuation methode=CVM) untuk menganalisa kemauan membayar (WTP) pelestarian spesies buaya, burung cenderawasih dan lokasi sakral dan kemauan menerima (WTA) kompensasi kenaikan harga premi kayu dan bersedia kehilangan lokasi sakral. Analisa regresi linier berganda dilakukan untuk mengukur  variabel-variabel yang berpengaruh terhadap WTP dan WTA. Analisa persepsi responden tentang konservasi, kawasan konservasi dan kondisinya dilakukan melalui skala likert dan tabulasi yang disajikan dalam bentuk deskripsi dan grafik.
Hasil penelitian; kehidupan masyarakat adat kampung Papasena yang tinggal didalam kawasan SM Mamberamo Foja masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Identifikasi sumber pendapatan bagi masyarakat berasal dari kulit buaya, premi kayu per pohon, daging hasil berburu, sagu, pinang, ikan, pemanfaatan sungai sebagai sarana  transportasi yaitu ojek perahu dan adanya kegiatan penelitian yang dilakukan di kampung Papasena. Masyarakat memiliki pengetahuan tentang berbagai tipe lansekap dan hutan. Ada 11 tipe lanskap dan 5 tipe hutan menurut masyarakat Papasena. Kearifan lokal dalam penggunaan lahat terlihat dalam penggunaan lahan secara tradisional dengan sistem zonasi pemanfaatan tradisional dengan aturan adat yang tegas dan jelas.  Zonasi penggunaan lahan tradisional yaitu; 1) Aroki Arekapeake yaitu daerah larang dengan fungsi khusus sebagai daerah penyuplai ketersediaan hewan buruan, daerah persembunyian saat perang, daerah sumber air, daerah cerita asal usul nenek moyang, wilayah ini tertutup bagi umum; 2) Aiperara Awikeidjua yaitu daerah berkebun namun tertutup secara bagi masyarakat lain disebabkan pemiliknya telah meninggal, wilayah ini hanya dibuka atas ijin keluarga pemiliki dan dalam kurun waktu tertentu; 3) Aroki Aretiare yaitu daerah penyimpanan yaitu wilayah dengan luas tertentu yang dibuka oleh pemilik dari tiap klan; 4) Tataroki yaitu daerah mencari makan melalui kegiatan berburu binatang, berburu buaya, mencari ikan dan berkebun.
Nilai ekonomi sumber saya alam SM Mamberamo Foja di Kampung Papasena sebesar Rp. 9.687.224.398,33 / tahun yang terdiri dari nilai ekonomi langsung sebesar Rp. 1.348.700.000,00 (13,92%); nilai ekonomi tidak langsung Rp. 1.517.191.065,00/tahun (15.66%), nilai keberadaan sebesar Rp. 1.798.000.000,00 /tahun (18,56%) dan nilai warisan  sebesar Rp. 4.734.000.000,00  /tahun (48,87%) dan nilai pilihan sebesar Rp. 289.333.333,33/tahn (2,99%). Nilai ekonomi langsung dari kegiatan transportasi sungai berupa ojek perahu kini menjadi salah satu sumber penghasilan yang potensial bagi masyarakat selain mencari kulit buaya yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian utama. Komuditas pinang mengalami peningkatan permintaan sejalan dengan semakin banyaknya konsumen pinang di ibu kota Kasonaweja dengan harga yang cukup tinggi.  Nilai ekonomi tidak langsung dari hutan lindung adat sebagai penyerap karbon merupakan nilai konservasi yang perlu dilestarikan.  Nilai keberadaan yang diperoleh dari WTP  spesies buaya dan burung cenderawasih dan nilai warisan dari WTP lokasi sakral dan merupakan nilai non guna (non use value) yang besar nilainya dibanding dengan nilai guna (use value) . Hal ini menunjukkan adanya  indikasi kesediaan masyarakat terlibat dalam upaya pelestarian bagi kegiatan konservasi spesies dan lokasi sakral tempat-tempat penting mereka. Nilai  pilihan WTA kenaikan harga premi pohon lebih kecil dari nilai warisan WTP lokasi sakral dan nilai WTP buaya dan burung cenderawasih memberi gambaran bahwa masyarakat masih memilih untuk mempertahankan pohon dan hutan mereka bagi generasi yang akan datang.
Respon terhadap kemauan membayar (WTP1) bagi pelestarian spesies buaya dan burung cenderawasih sebesar Rp. 241.666,67 ./per bulan. Secara signifikan WTP1 dipengaruhi oleh variabel pendidikan dan pendapatan hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan semakin besar keinginan untuk membayar bagi pelestarian buaya dan burung cenderawasih. Respon terhadap kemauan membayar (WTP2) bagi pelestarian lokasi sakral sebesar Rp. 636.290,32/bulan. WTP 2 secara signifikan dipengaruhi oleh variabel pendapatan dan lama tinggal yang berarti semakin tinggi pendapatan dan semakin lama seseorang tinggal di kampung mempengaruhi keinginan untuk membayar bagi pelestarian lokasi sakral. Respon terhadap kamauan menerima (WTA) kompensasi kenaikan harga premi kayu perpohon dan bersedia kehilangan lokasi sakral sebesar Rp. 38.888,89/bulan. WTA secara signifikan dipengaruhi oleh variabel pekerjaan yang berarti semakin bervariasi tingkat pekerjaan  dan atau semaikn baik tingkat pekerjaan seseorang mempengaruhi kemauannya untuk menerima kompensasi kenaikan harga premi kayu.
Persepsi responden tentang konservasi dan kawasan konservasi SM Mamberamo Foja tinggi artinya responden pernah mendengar istilah konservasi, kawasan konservasi, tahu bahwa kampung berada didalam kawasan dan memilki pemahaman yang baik mengenai keberadaan spesie buaya dan burung cenderawasih yang dilindungi. Responden secara keseluruhan atau 100% responden menyatakan bahwa kondisi kawasan SM Mamberamo Foja di kampung Papasena masih sangat baik.
Hasil  penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi penelitian valuasi ekonomi lainnya di kawasan konservasi SM Mamberamo Foja dan hasilnya dapat digunakan bagi pengelolaan dan pendekatan terhadap masyarakat adat yang ada didalam kawasan  SM Mamberamo Foja.

DAFTAR PUSTAKA

Bahruni. 1999. Diktat Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bappenas. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD +. Bappenas Jakarta.
Bishop, J.T. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in Developing Countries. International Institute for Environment and Development. London.
Boissiere, M. M,Van Heist. D, Sheil. I, Basuki. S,Frazier. U,Ginting. M,Wan. B, Hariadi. H, Haryadi. H,D, Kristianto. J,Bemei. R,Haruway. E,Marien. H,Koibur. Y,Watopa. I. Rachman dan N, Liswanti.2004.  Pentingnya Sumberdaya Alam bagi Masyarakat Lokal di Daerah Aliran Sungai Mamberamo, Papua, dan Implikasinya bagi Konservasi. Journal of Tropical Ethnobiology  1  (2) : 76 – 95
Conservation International . 1999. The Irian Jaya Biodiversity Conserservation Priority-Setting Workshop Final Report.
Conservation International, Washington, DC, USA.p.20-36.
Conservation Internasional. 2006. Rappid Assessmetn Programe (RAP) 
Conservation International, Washington, DC, USA.
Bulletin of Biologicall assessment(26) : 17-19.
Conservation Internatioan. 2006. Peta Partisipatif Penggunaan Lahan Kampung Papasena. Conservation International Papupa Program. Jayapura
Cox. J. H. 2010 New Guinea Freswater Crocodile Crocodylus novaeguneae Status Survey and Conservation Action Plan. Third Edition, ed. by S.C. Manolis and C. Stevenson. Crocodile Specialist Group: Darwin.
de Fretes, Y. 2007. Kawasan Konservasi dan Pengelolaannya dalam Ekologi Papua.
Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International.  p. 790-817.
Duwi. 2012. Uji Data Kuisioner dengan SPSS. http://duwiconsultan.blogspot.com
Fauzi, A., Suzi Anna, Lis Diatin, Irmadi Nahib, Intan Adhi Putri. 2007. Studi Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung. Laporan Akhir.
Kementerian Lingkungan Hidup.
Fauzi A dan S. Anna. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jakarta : USAID, DKP, dan Mitra Pesisir.
Ika J. 2014. Konservasi Kearifan Lokal Pengelolaan Ikan Asap sebagai Produk Wisata di Kabupaten Situbondo.Tesis.
          Universitas Brawijaya Malang. p.54-54
Kurniati. H. 2002. Spotlight Surveys of New Guinea Freshwater Crocodile (Crocodylus novaeguineae) in Mid-Zone Mamberamo River (Mamberamo and Roufaer System) In Papua Province. Zoo Indonesia. LIPI. (29) : 1-19
Liswanti, N. Indawan,A. Sumardjo dan Sheil. 2004. Persepsi Masyarakat Dayak Merap Dan Punan Tentang Pentingnya Hutan Di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika 10 (2)  : 1-13
Luky Adrianto. Mujio dan Yudi Wahyudin. 2004. Modul Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institud Pertanian Bogor.
Mahesi.V. 2008. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam Kebun Raya Cibodas.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mitchel, B. Setiawan, B. Rahmi H,D 2010. Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan.
Gajah Mada University Press.p.82-83
Moeliono, M. G. Limberg. P, Minigh. A,Mulyana. Y, Indriatmoko. N,A, Utomo. Saparuddin,Hamzah. R, Iwan. danE, Purwanto. 2010 Meretas kebuntuan: konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia.
CIFOR, Bogor, Indonesia.p.2-3
Mukhamadun, T.Efrizal dan S. Tarumun 2008. Valuasi Ekonomi Hutan Ulayat Buluhcina Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Universitas Riau.
Jurnal Ilmu Lingkungan 3 (2) : 55-73
Munasinghe.M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank
Washington, D.C. 20433, U.S.A. p. 32.
Navrud S dan E.D.Mungatana. 1994. Environmental Valuation in Developing Countries: The Recreational Value of Wildlife Viewing. Ecological Economics
Navrud S. 2000. Strenths, Weaknesses and Policy Utility of Valuation Techniques and Benefit Transfer Methods. Invited Paper for the OECD-USDA Workshop The Value of Rural Amenities: Dealing With Public Goods, Non-market Goods and Externalities, Washington D.C. Department of Economics and Sosial Sciences, Agricultural University of Norway
Nurrochmat R.D. 2006. Dasar-dasar Valuasi Ekonomi. [Diktat Kuliah]. Bogor : Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Padmanaba, M., M, Boissière.Ermayanti, H, Sumantri. dan R, Achdiawan. 2012. Pandangan tentang perencanaan kolaboratif tata ruang wilayah di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua,Indonesia: Studi kasus di Burmeso, Kwerba, Metaweja, Papasena dan Yoke..
CIFOR, Bogor.Laporan Penelitian. p.12.
Pattiselanno F. 2003. Some fruit bats (Chiroptera, Pteropodidae) of the Mamberamo River Basin, West Papua, Indonesia.
The Asian Internatioanl Journal of Sciences.Asia Life Sciences 12 (1): 45-56
Pearce, D.W dan Kerry Turner. 1991. Economics of Natural Resources and The Environment Harvester Wheatsheaf.
Pearce, D.W dan D. Moran, 1994.The Economic Value of Biodiversity.IUNC. Earthscan Publication, London.
Richards, S. J. dan S. Suryadi. 2002. A Biodiversity Assessment of Yongsu - Cyclops Mountains dan the Southern Mamberamo Basin, Papua, Indonesia..
Conservation International, Washington, DC, USA.RAP Bulletin of Biological Assessment (25) : 27- 43.
Sheil,D. R,K,Puri. I, Basuki. M, van Heist. M, Wan. N, Liswanti. Rukmiyati , M, Agung. Sardjono, I, Samsoedin.K, Sidiyasa. Chrisandini.E, Permana. E,A, Mangopo. R, Gatzweiler. B, Johnson  dan A, Wijaya. 2004. Mengekspolari Keanekaragaman Hayati, Lingkungan dan Pandangan Masyarakat Lokal tentang berbagai Lansekap.
          CIFOR.Bogor. p.2-8.
Watopa, Y. 2004. Multidisciplinary Landscape Assesstmen (MLA) di Kampung Papasena Mamberamo. Laporan Penelitian.
Conservation International Papua Program.Jayapura.
Watopa, Y. 2006. Sustainable Use Option Plan;Pilihan Rencana Pemanfaatan Hasil Alam Berkelanjutan di Mamberamo. Laporan Penelitian.
Conservation Internatioanal  Indonesia Papua Program. Jayapura.  p.12-15.
Watopa, Y. Susan Maniagasi, Victor Ginuni, Richard Warinussa, Mathan Waroy, Mathius Kooh dan Tommy Wakum. 2013. Perencanaan Kolaboratif Tata Ruang Kabupaten Mamberamo Raya, Perspektif Masyarakat Adat Kampung Suaseso. Laporan Penelitian
Conservation International Indonesia Papua Program. Jayapura.
Widodo.D.A.T., Prabang Setyono dan I Gusti Ayu KRH. 2014 Program  Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali Dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi Dan Daya Dukung Lingkungan Di Taman Nasional Gunung Merbabu
Jurnal Ekosains  2 (4) :  26-38


DEFINISI RUANG DALAM PANDANGAN ORANG PAPASENA, MAMBERAMO

Mendengar, Melihat dan Merasakan
Oleh; Yoseph Watopa

Sekilas tentang  Papasena
Papasena adalah salah satu kampung ditepian sungai Mamberamo, Papua. Secara administratif kampung ini terdiri dari dua kampung yaitu Papasena I dan Papasena II dan termasuk dalam wilayah Distrik Mamberamo Hulu. Penduduknya pada tahun 2004 berjumlah 377 jiwa. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat melakukan kegiatan berburu (berburu buaya, babi hutan, kasuari, lao-lao dll), mencari ikan di telaga dan sungai kecil serta membuat kebun-kebun kecil disekitar rumah dan ditepian telaga lokasi berburu.
Hubungan orang Papasena dengan alam sekitar mereka masih sangat kental dan murni. Mereka tinggal di tepi sungai-sungai kecil yang bermuara ke Mamberamo dengan hamparan hutan primer dataran rendah yang sangat luas hingga ke kaki pegunungan Foja. Terdapat juga  beberapa telaga-telaga besar menyerupai danau dan banyak sekali telaga telaga kecil. Perahu adalah alat transportasi utama. Berburu buaya, mencari ikan dilakukan dengan menggunakan perahu. Begitu pula untuk dapat ke lokasi kampung terdekat harus menggunakan perahu.

Konsep tentang alam
Hutan, telaga dan sungai adalah sekolah yang membentuk karakter dan gaya hidup orang Papasena. Pandangan tentang alam atau igdopleauri sangat melekat dalam kehidupan mereka. Mereka memahami bahwa alam ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Hutan atau Auwi tidak bisa hidup sendiri tanpa tanah, tanah tidak bisa hidup sendiri tanpa air, begitu pun sebaliknya. Sungai-sungai, telaga, manusia dan tumbuhan saling membutuhkan.

Bagi orang Papasena, hutan adalah dapur  yang menyediakan berbagai jenis makanan, baik hewan maupun tumbuhan. Dalam sehari mereka dapat menangkap berbagai jenis hasil buruan dari hutan seperti kasuari, babi hutan, berbagai jenis burung, lao-lao, kus-kus, tikus tanah dan lainnya. Selain binatang, hutan juga menyediakan berbagai jenis tumbuhan yang dengan mudah dapat diambil untuk dimakan. Sagu hutan (Metroxilon sagu) atau dalam bahasa Papasena mudah diperoleh dan menjadi makanan pokok bagi orang Papasena. Dusun sagu atau pi auwiruitayde banyak dijumpai di tepian sungai Mamberamo, sungai-sungai kecil, tepian telaga dan di sekitar kampung. Selain sagu, ubi hutan atau Awi, genemo, matoa dan buah-buahan hutan tersedia sangat  melimpah untuk dikonsumsi oleh masyarakat.


Hutan juga adalah rumah bagi mereka. Kebutuhan hidup sehari-hari selain makan,  diperoleh dari hutan disekitar kampung. Bahan untuk membuat rumah, perahu, kayu bakar, perkakas, bahan untuk berburu, bahan untuk ritual adat semuanya diperoleh dari hutan.

Selain hutan, tipe lahan yang sangat berperan penting dalam kehidupan orang Papasena adalah telaga atau karu. Buaya, ikan sembilang, ikan tawes, gabus, mujair, udang, kura-kura tersebar banyak di telaga-telaga milik orang Papasena. Telaga sangat berperan dalam kehidupan ekonomi orang Papasena, di telagalah mereka bisa menangkap buaya yang menjadi komuditi unggulan bagi masyarakat di Mamberamo termasuk orang Papasena. Telaga-telaga milik orang Papasena tersebar cukup banyak, ada yang  di tepi sungai Mamberamo, maupun yang terdapat di hutan yang jauh dari sungai Mamberamo bahkan di  sungai-sungai kecil yang bermuara ke Mamberamo. Ukuran telaga-telaga ini bervariasi mulai dari yang kecil hingga yang besar bahkan menyerupai danau karena cukup luas dan besar.

Pemanfaatan telaga secara intensif oleh orang Papasena dilakukan ketika musim air surut. Sungai Mamberamo mengalami pasang surut dalam setahun sekali per enam bulan, yaitu enam bulan terjadi pasang dan surut enam bulan kemudian. Ketika  terjadi air pasang,  buaya dan hewan sungai lainnya tersebar ke telaga-telaga dan sungai-sungai kecil dan pada saat air sungai Mamberamo surut, banyak buaya yang terperangkap di telaga-telaga yang jauh dari sungai Mamberamo. Selain itu pada saat musim air surut terjadi perkawinan sehingga jumlah buaya cukup banyak di telaga. Pada saat itulah masyarakat melakukan perburuan buaya untuk diambil kulitnya lalu di jual untuk memperoleh pendapatan.


Orang Papasena membagi tipe sungai menjadi dua yaitu kali besar atau akijori dan kali kecil atau ake. Sungai juga memainkan peranan penting bagi kehidupan orang Papasena. Sungai adalah ‘ibu yang memberi minum  bagi orang Papasena. Kehidupan tanpa air adalah mati begitulah yang dianggap oleh orang Papasena. Baik sungai Mamberamo maupun sungai-sungai kecil tak henti-hentinya menyediakan air yang didalamnya hidup berbagai jenis hewan sungai seperti ikan, buaya, udang dan kura-kura yang menjadi sumber makanan bagi mereka. Sungai juga adalah sarana transportasi yang menghubungkan orang Papasena dengan kampung sekitarnya bahkan ke luar daerah Mamberamo. Salah satu hal yang menarik dari manfaat sungai bagi orang Papasena adalah sungai sebagai penyedia kayu bakar. Tumpukan kayu yang hanyut disungai banyak dijumpai. Untuk mengambilnya dengan menggunakan perahu, atau ke tepian sungai dan mengumpulkan kayu-kayu tersebut untuk bahan bakar.


Kehidupan orang Papasena sangat bergantung kepada alam, terutama dalam pemanfaatan  hutan, telaga dan sungai yang telah menyatu dengan mereka.

Zonasi adat
Pengetahuan orang Papasena akan pemanfaatan ruang  cukup tinggi. Mereka membagi wilayah pemanfaatan secara tegas dan ditaati secara turun-temurun. Pembagian wilayah ini didasari dua hal. Yang pertama adalah alasan sejarah dan daerah sakral yang tidak boleh dimasuki untuk kegiatan pemanfaatan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun orang luar. Alasan kedua adalah daerah dibagi berdasarkan kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup.







1. Aroki Arekapeake adalah ”daerah larang adat” karena memiliki fungsi khusus yang berkaitan dengan cerita rakyat, asal mula suku, tempat lindung saat situasi perang, tempat berkembang biak bagi hewan, sebagai dearah sumber air, dan memiliki bahan tambang mineral yang semuanya berguna bagi kepentingan masyarakat untuk masa kini dan masa depan. Daerah ini terletak di bagian hulu sungai-sungai yang melintasi kampung dan berada tepat di bawah kaki pegunungan Foja yang bermuara ke Sungai Mamberamo. Secara adat daerah ini dilarang untuk berbagai aktifitas yang merusak fungsi hutan. Karena daerah ini dianggap sebagai ”daerah penyuplai” dan penyedia bahan makanan bagi orang Papasena.

2. Aiperera awikeidjua
adalah wilayah dengan cakupan luasan tertentu yang ditutup berbagai bentuk aktivitas mencari makan ataupun mengambil kebutuhan lainnya pada wilayah tersebut.  Daerah ini ditutup atas dasar orang yang  memanfaatkan daerah (berkebun, berburu, menokok sagu) tersebut telah meninggal, dan ditutup hingga mendapat kesepakatan dari kaum keluarga dekat untuk dapat dibuka. Batas-batas aiperara awikeidjua berdasarkan luas wilayah yang sering dimanfaatkan oleh orang meninggal dunia.

3. Aroki Areteari
  atau daerah Penyimpan adalah wilayah dengan luasan tertentu yang dibiarkan untuk sementara waktu dan pemanfaatannya dilakukan secara bergilir. Penetapan aroki areteari ditentukan oleh pemilik tempat secara adat.

4. Tataroki
adalah wilayah tempat mencari makan. Tataroki atau tempat mencari makan ini dibagi menjadi daerah berburu, daerah berkebun dan daerah mencari ikan dan buaya.


Daerah berburu di tunjukkan dengan kemampuan masyarakat dalam menjelajahi hutan sepanjang satu hari pergi-pulang. Biasanya daerah berburu adalah kawasan yang cukup luas disepanjang aliran sungai-sungai yang berhulu di kaki Pegunugan Foja.

Daerah berkebun adalah daerah disekitar lokasi kampung dan tepian sungai atau telaga terdekat yang dapat dijangkau. Sedangkan daerah mencari buaya dan ikan cakupannya sangat luas, sepanjang kepemilikan adat orang Papasena ditepian sungai Mamberamo yang mencakup sejumlah telaga-telaga dan sungai-sungai kecil didalamnya.


Monitoring wilayah

Menyadari akan luasnya wilayah dan melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki, maka orang Papasena mempunyai cara untuk menjaga dan memastikan aman tidaknya wilayah adat mereka. Monitoring tradisional atau traditional monitoring  yang dimiliki oleh orang Papasena dilakukan secara including pada saat mereka melakukan kegiatan berburu, berkebun dan mencari buaya dan ikan di telaga dengan melibatkan komponen adat orang Papasena.

Kontrol terhadap wilayah ”aroki arekapeake” dilakukan dengan membersihkan atau merawat tumbuhan terutama sagu yang tumbuh di sekitar daerah batas arekapeake. Yang melakukan kontrol adalah marga pemilik wilayah arekapeake. Biasanya mereka tinggal di daerah ini dengan jangka waktu 3-6 bulan lalu bergantian dengan sesama kaum pemilik wilayah arekapeake.

Sedangkan monitoring adat untuk daerah ”tataroki” atau daerah mencari makan, terutama telaga, sungai dan lokasi berburu dilakukan secara bergiliran oleh semua kelompok masyarakat termasuk ”igdowai” atau kepala suku dari tiap marga maupun kepala suku besar. Untuk lokasi mencari buaya dan ikan di telaga dan sungai, biasanya orang Papasena tinggal selama 1-3 bulan, lalu akan ada orang lain lagi yang bergiliran ke lokasi yang sama. Untuk lokasi berburu biasanya dilakukan tiap hari sambil berburu, atau ada yang bermalam 2-3 hari dan bergantian dengan orang lain.

Kemampuan alamiah dalam memantau wilayah adat orang Papasena ini telah berkembang secara turun temurun sehingga pemanfaatan wilayah atau zonasi adat yang telah disepakati dapat dijaga dan dipelihara. ”Kami terbiasa melakukan hal ini karena kami ingat anak cucu kami, supaya mereka juga dapat hidup dari alam ini” demikian kata Apolos Dude kepala suku besar atau ”igdowai besar” kampung Papasena I.