Kamis, 02 Juni 2016

SUSTAINABLE USE OPTION PLAN (SUOP) ATAU PERENCANAAN PILIHAN PEMANFAATAN HASIL ALAM YANG BERKELANJUTAN DI MAMBERAMO

oleh : Yoseph Watopa

Pada tahun 2005 kawasan Mamberamo  tepatnya Pegunungan Foja menjadi perhatian dunia penelitian dengan ditemukannnya beberapa spesies baru dan spesies  langkah yang hanya ada di Mamberamo lantas  kawasan ini disebut dengan istilah  dunia yang hilang "the lose world". Dari hasil temuan ini, menjadikan kawasan Mamberamo ini semakin diperhatikan untuk dilindungi hal ini tidak terlapas dari statusnya sebagai Suaka Margasatwa Mamberamo Foja  dengan luas  2.018.000 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK. Mentan Nomor : 782 /Kptsw/Um/10/1982.
Namun ada pertanyaan lanjutan dari hasil temuan tersebut apakah ada hubungan yang signifikan antara hasil temuan dengan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan Mamberamo Foja. Hal ini tentunya tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak, tetapi perlu adanya keseriusan dari berbagai pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat guna mensinergikan kepentingan ekonomi dan konservasi di Mamberamo.

Survey   SUOP
Tulisan ini mengulas kembali kegiatan yang pernah  dilakukan oleh Conservation International (CI) Indonesia Papua Program pada tahun 2006 lalu namun masih relevan untuk dilkasanakan bagi peningkatan nilai tambah hasil alam yang dikelola oleh masyarakat di Mamberamo dengan perbandingan harga hasil alam tersebut pada tahun 2015.
Kegiatan Sustainable Use Option Plan atau  SUOP (Perencanaan  Pilihan Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan  bertujuan untuk    menilai  kelayakan dari kegiatan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. CI dan para pihak local terutama lembaga pemerintah dan perguruan tinggi  bekerja sama dalam merancang suatu kegiatan yang akan memperkuat mekanisme pengambilan keputusan di tingkat lokal yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam yang akan mendukung konservasi keanekaragaman hayati di daerah Mamberamo.
Kegiatan SUOP bersifat jangka panjang dan akan dilakukan secara berkelanjutan melalui beberapa tahapan. Survei awal merupakan salah satu tahap guna mengidentifikasi potensi, sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat kemungkinan pengembangan ke depan,  ancaman ke depan apabila hasil alam  tersebut dimanfaatkan serta peluang dan tantangan yang dihadapi. Survei awal ini dilakukan di desa Dabra, Papasena I, Papasena II, Kwerba dan Kasonaweja

Hasil alam dan tantangan ekonomi
Hasil alam yang dimanfaatkan oleh masyarakat  di Mamberamo sangat melimpah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama makanan, rumah, perahu, kayu bakar, perakakas, masyarakat mengambil hasil langsung dari alam. Hasil alam (yang tidak ditanam atau dipelihara) seperti sagu,  buaya, ikan sembilang, ikan tawes, ikan mujair, babi hutan, kasuari, ulat sagu, genemo, tersebar didaerah-daerah sepanjang sungai besar Mamberamo, rawa, telaga, sungai-sungai kecil yang bermuara ke Mamberamo , hutan dan gunung pada kawasan Mamberamo. Dengan peralatan yang sederhana dan dalam waktu cepat mereka dapat memperoleh hasil alam untuk dimakan.
Namun untuk memperoleh pendapatan langsung/pendapatan terkini, tidak semua hasil alam ini memberikan pendapatan berupa uang dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Biaya untuk mendapatkan pakaian, peralatan rumah tangga seperti belanga, piring, loyang, parang, kapak, jarring sangat besar dikeluarkan. Harga barang luar cukup tinggi tidak sebanding dengan harga jual hasil alam. Transportasi menjadi salah satu penyebab tingginya harga barang dan sulitnya akses masyarakat untuk menjual hasil alam ke luar Mamberamo.
Hasil alam yang dilihat secara ekonomi dapat memberikan keuntungan langsung kepada masyarakat adalah kulit buaya, pelampung ikan sembilang, buah merah, sagu dan kulit masohi.


Kulit Buaya
 
Sebenarnya potensi yang dianggap paling penting oleh masyarakat adalah buaya. Pencarian buaya dilakukan pada saat air sungai Memberamo surut sekitar bulan Mei – Oktober. Pada   musim surut ini, buaya yang tadinya tersebar sampai ke telaga dan rawa serta sungai-sungai kecil dan juga terbentuk sungai Mamberamo mati atau bekas aliran sungai yang tertutup, akan terkumpul dan tidak bisa keluar, pada saat itulah masyarakat keluar dan mencari atau berburu buaya. Masyarakat melakukan kegiatan pencarian buaya pada malam hari dengan menggunakan tombak dengan tali yang panjang. Masyarakat mencari buaya ada yang sendiri (minimal 2 orang) dan ada pula yang berkelompok 3 – 4 orang dengan membawa hasil mencapai 1 – 5 ekor buaya kemudian di bawa pulang untuk dikuliti pada pagi harinya. Bahkan kadang-kadang pada saat mencari buaya juga tidak membawa hasil sama sekali. Daging buaya tersebut ada yang dimakan dan benyak pula yang dibuang. Buaya yang diambil oleh masyarakat berkisar antara 11 inchi sampai 20 inchi. Masyarakat mengatahui informasi besarnya buaya yang diambil karena adanya peraturan dari pemerintah. Harga kulit per inchi pada tahun 2006 berkisar antara Rp. 18.000,- sampai Rp. 21.000,-  dan kini pada tahun 2015 harga kulit per inchi adalah Rp. 30.000-Rp. 35.000 per inchi.



Gelembung Ikan Sembilang

Potensi ikan di Mamberamo sangat besar seperti  ikan sembilang, ikan tawes, ikan mas dan ikan mujair. Masyarakat memanfaatkan ikan-ikan tersebut ada yang diambil pelampungnya dan ada pula yang dimakan dagingnya dan ada yang membuat ikan garam. Untuk ikan tawes, ikan mas dan ikan mujair oleh masyarakat dimanfaatkan untuk dimakan secara langsung ataupun dijual pada masyarakat yang lain atau dijual ke pasar. Harga ikan-ikan tersebut pada tahun 2006 berkisar antara Rp. 5.000,- – Rp. 15.000,-per tali  dan pada tahun 2015 seharga Rp.25.000-50.000 per tali. Masyarakat juga ada yang sudah bisa membuat ikan asin (namun kebanyakan pendatang) yang biasa dijual dipasar ataupun pendatang . Harga saat survei tahun 2006  dari masyarakat harga ikan asin berkisar Rp. 20.000,- - Rp. 25.000,- per kilo gram dan pada saat survei tahun 2015 harga ikan asin Rp. 100.000-200.000 per kilogram. Potensi ikan ini sebenarnya sangat besar sekali bagi masyarakat. Dalam 1 minggu dapat dihasilkan mencapai 50 kg ikan dan hal itu apabila dibuat ikan asin dan pemasaran juga bagus maka pendapatan masyarakat juga besar.

 
 Selain ikan tawes, mas dan mujair, ikan sembilang mempunyai potensi yang lebih besar. Masyarakat memanfaatkan ikan ini kebanyakan untuk diambil pelampung atau gelembung udara. Gelembung udara ikan sembilang tersebut dijemur seperti kerupuk dan dijual per kilogram. dengan harga Rp. 70.000,- - Rp. 80.000,- per kilo gram. Sekarang pada tahun 2015 harga per kilo Rp. 150.000-175.000. Kerupuk pelampung tersebut kadang dibeli oleh pedagang pengumpul atau dijual sendiri ke Jayapura. Berdasarkan informasi masyarakat terdapat jenis ikan sembilang mulut besar, ikan sembilang mulut kecil / tikus, ikan sembilang mulut kecil kuning, ikan sembilang kepala panjang dan ikan sembilang berlendir. Masyarakat kebanyakan hanya mengambil pelampung ikan sembilang dan hanya sedikit ikan yang dimakan selebihnya dibuang.
Buah Merah


Buah merah merupakan salah satu sumber ekonomi masyarakat di wilayah Dabra, Taria dan Papasena. Harga perbuah pada tahun 2006 Rp. 50.000, harga ini masih sama hingga tahun 2015. Potensi buah merah dialam sangat banyak terdapat di hutan dan sekarang ada masyarakat yang mulai menanam dengan membuat areal kebun buah merah. Selain menjual buah kepada pedagang pengumpul, ada beberapa kelompok masyarakat yang sudah mulai belajar  membuat minyak buah merah lalu dijual ke pedagang pengumpul di Mamberamo, bahkan ada yang menjual ke Jayapura. Harga jual minyak buah merah oleh masyarakat berkisar antara Rp. 50.000 – Rp. 100.000.



Sagu
Potensi sagu juga tidak kalah besar dengan buah merah, hampir setiap keluarga mempunyai dusun  untuk diambil sagunya. Kegiatan tokok sagu biasanya dilakukan oleh perempuan, dan hal ini dimungkinkan karena laki-laki mencari buaya pada saat malam hari. Harga sagu per bay / tumang berkisar antara Rp. 25.000,- sampai Rp. 50.000,-   Satu bay atau tumang berisi 20-30 kg sagu.    
Transaksi penjualan dan pembelian sagu ini terjadi pada saat hari pasar, selain itu  karena ada beberapa masyarakat yang keluar mencari buaya bersama keluarga sehingga tidak sempat menokok sagu, sehingga mereka membeli dari masyarakat lainnya.


Kulit Kayu Masohi.
Potensi lain yang dapat dijumpai di Mamberamo, khsususnya daerah Mamberamo tengah adalah kulit kayu masohi. Kulit kayu masohi diambil oleh masyarakat dilokasi hutan-hutan terdekat milik hak ulayat masing-masing. Mereka mengambilnya dalam bentuk kulit lalu dikeringkan dan dimuat dalam karung-karung untuk dijual ke Jayapura atau Nabire. Hal ini bila dikelola dengan baik sangat menguntungkan masyarakat, bila saja mereka dapat membuat minyak masohi, maka akan sangat membantu dalam proses transformasi teknologi bagi mereka. Harga jual kulit kayu masohi per kilogram Rp. 350.000,- hingga Rp. 500.000.

Pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan hasil Alam.
Pernah beberapa decade yang lalu, sekitar tahun 60-an hingga tahun 90-an, kawasan ini sangat terkenal sebagai daerah pengahasil kulit buaya. Menurut beberapa masyarakat bahwa dulu untuk mendapatkan satu lembar kulit buaya hanya ditukarkan dengan satu lembar baju kepada para pemburu buaya. Ada juga yang ditukarkan dengan kapak atau belanga. Namun masyarakat mulai menyadari bahwa mereka ditipu, lalu mereka sendiri mulai belajar dan mengikuti para pemburu buaya untuk menangkap dan menjual kulit buaya.
Hingga sekarang masih ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam di Mamberamo khususnya penangkapan buaya dan pelampung ikan sembilang. Para pengusaha buaya maupun pelampung ikan sembilang memanfaatkan potensi tersebut, namun mereka hanya sebagai plasma atau pengumpul. Dari pantauan terdapat 2 pengumpul kulit buaya yaitu CV. Bintang Mas dan FA. Mamberamo Cod Tray. Dari hasil wawancara dari pihak pengumpul memberikan peralatan dan bahan untuk berburu diantaranya baterai dan garam serta bahan makanan, kemudian masyarakat mencari buaya yang hasilnya dijual pada perusahaan tersebut. Ukuran kulit yang dapat dijulal ditentukan oleh BKSDA I Papua adalah 11 inc – 21 inc hal ini untuk menghindari kepunahan dari buaya.

Usulan pengelolaan hasil alam
Untuk hasil alam berupa kulit buaya sudah jelas pemasarannya, dimana masyarakat menjual langsung kepada plasma pengumpul yang ada di Mamberamo. Kulit dijual, kadang-kadang daging dikonsumsi namun kalau kelebihan biasanya mereka buang disepanjang sungai. Begitu pula dengan ikan sembilang, perutnya diambil, dagingnya dibuang. Hal ini menjadi menarik untuk ditindak lanjuti melalui beberapa program yang dapat membantu masyarakat. Masyarakat dapat dilatih untuk beberapa usaha industri kecil pengelolaan alam tersebut. 

Table. 1. Usulan pengelolaan lanjutan bagi masyarakat

No
Hasil alam yang sekarang di kelola oleh Masyarakat
Manfaat terkini
Usulan usaha lanjutan
Program sinergi
1
Buaya
Kulit Buaya
-          Pembuatan dendeng buaya
-          Pembuatan abon buaya
-          Pelatihan dan Modal
-          Peningkatan sarana transportasi
-          Mencari peluang pasar
2
Ikan sembilang
Perut/pelampung
-          Daging dijadikan abon

-          Pelatihan dan Modal
-          Peningkatan sarana transportasi
-          Mencari peluang pasar
3
Buah Merah
Buah
-          Pembuatan minyak buah merah

-          Pelatihan dan Modal
-          Peningkatan sarana transportasi
-          Mencari peluang pasar
4
Sagu
Sagu mentah
-          Pembuatan tepung sagu
-          Membuat aneka kue dari tepung sagu
-          Pelatihan dan Modal
-          Peningkatan sarana transportasi
-          Mencari peluang pasar
5
Kulit Masohi
Kulit Masohi
-          Pembuatan minyak masohi

-          Pelatihan dan Modal
-          Peningkatan sarana transportasi
-          Mencari peluang pasar























Catatan akhir
Hasil alam yang ada di Mamberamo secara ekonomi bila dikelola dengan baik dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perlu diingat, bahwa kita  tidak menggantikan pola hidup mereka namun kita hanya dapat meningkatkan pola hidup mereka, dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi alam, potensi ekonomi (jiwa usaha) masyarakat, ketrampilan,  yang dapat mendorong masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan dan pemanfaatan hasil alam secara berkelanjutan. Hal ini berkaitan erat dengan pengembangan ekonomi rakyat. Pola pemanfaatan lahan, telaga, sungai, yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat secara tradisional perlu dipelihara guna keberlanjutan hidup atau ketersediaan hasil alam dimasa mendatang.
Keseriusan berbagai pihak yang berkepentingan di Mamberamo perlu dibangun bersama, guna mencari jalan keluar dalam membangun masyarakat Mamberamo dan melestarikan alam demi masyarakat di masa yang akan datang.

Rabu, 18 Mei 2016

PEREMPUAN PERDAMAIAN

Oleh: Yoseph Watopa

Suku Sawi , salah satu suku di Papua menjadi terkenal di dunia dengan kisah hidup dan tradisi mereka yang ditulis oleh seorang penginjil terkenal Don Richardson dengan judul “Anak Perdamaian”.  Secara garis besar kisah ini menceritakan tentang kebiasaan pra Kristen suku Sawi yang kanibal dengan cara menjalin persahabatan kemudian menghianati sahabat dengan memelihara sahabat hingga menjadi gemuk lalu dibunuh dan dimakan oleh mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan antara suku yang tinggi dan menimbulkan perang suku terus menerus.  Namun ada  tradisi mereka untuk perdamaian antar suku jika tidak ada jalan lain untuk berdamai. Seorang ayah dari satu pihak menyerahkan anak kandungnya sendiri, seorang bayi, kepada pihak musuh dan pihak musuh pun menyerahkan anak bayi mereka dan mereka membuat janji lisan dari kedua pihak untuk mempertahankan perdamaian  selama anak itu masih hidup. Perjanjian ini disaksikan oleh masyarakat kedua belah pihak dengan cara meletakkan telapak tangan atas anak perdamian itu sebagai tanda meraka anan ikut menjaga perdamaian antara kedua pihak. Tradisi anak perdamaian ini kemudian dijadikan sebagai sarana penginjilan oleh Don Richardson bagi suku Sawi dan suku-suku yang berperang dengan mereka.













Foto: Mama Dina Kedebak
 



Kisah anak perdamaian sebagai tradisi untuk mengakhiri perang suku adalah salah satu dari budaya perdamaian di Papua.  Kisah “Perempuan Perdamaian” yang ditulis ini bukanlah sebuah  tradisi atau budaya  seperti cerita anak perdamaian namun kisah ini mencoba mengangkat suatu strategi  dan keputusan yang diambil oeh seorang kepala suku bagi penyelesaian konfiik perang suku berkepanjangan antara suku Oedate dari Kampung Kerema dan suku Baudi Kamai di lembah Benuki dan pengorbanan jiwa dan raga  yang diterima oleh seorang perempuan demi mengakhiri perang suku.

Adalah mama Dina Kedebak (50 tahun) seorang perempuan dari suku Oedate kampung Kerema menjadi tokoh dan pelaku sejarah perdamaian antara suku Oedate dan suku Baudi Kamai. Perang adat antara suku Baudi Kamai dan suku Oedate yang berkepanjangan memperebutkan wilayah mencari makan berlangsung terus menerus dan tidak dapat dihentikan. Ketika itu seorang kepala suku besar di lembah Benuki bernama Dominggus Kedebak yang membawahi beberapa suku yang sekarang menjadi kampung yaitu Kerema, Dadat, Baita, Nisa, Usia dan Watiaro berupaya untuk mencari jalan damai dengan suku Baudi Kamai. Perang suku yang berlangsung terus memakan korban jiwa dari kedua belah pihak. Saat itu kepala suku besar Dominggus Kedebak berpikir bagaimana caranya untuk menghentikan perang suku ini. Kemudian terlintas dibenaknya untuk mengambil langkah memberikan perempuan dari suku mereka kepada suku Kamai sebagai tanda ikatan perdamaian. Ketika itu Dina Kedebak saudara kandung dari Dominggus Kedebak masih berusia 13 tahun dipaksa untuk kawin dengan seorang kepala perang dari suku Kamai. Dina mengalami kekerasan, ia diancam, dipaksa, dipukul  bahkan akan dibunuh agar  mau menerima dikawinkan dengan kepala perang suku Kamai yang adalah musuh mereka. Perkawinan paksa inipun terjadi didepan beberapa tokoh kepala perang dari dua suku tersebut. Tidak punya pilihan lain, dalam ketidakberdayaan dan tekanan saudara laki-lakinya selaku kepala suku  ia menerima perkawinan paksa tersebut.

Perkawinan paksa yang dilakukan oleh Dominggus Kedebak dengan mengorbankan saudara perempuannya ini menjadi benih perdamaian antara kedua suku yang berperang sekian lama. Dina melahirkan anak-anak yang kini dapat menjadi penghubung antara suku Oedate di Kampung Kerema dan Suku Baudi Kamai. Kini mereka bisa hidup berdampingan, bertukar lokasi mencari sagu dan binatang buruan.

Pengorbanan yang dilakukan oleh mama Dina Kedebak membuka jalan bagi perdamain kedua suku. Jalan perdamaian ini menghentikan  perang suku dan memberi ruang masyarakat untuk menerima pihak luar termasuk gereja dan pemerintah untuk menyentuh kedua kelompok masyarakat hingga sekarang. 

Jumat, 13 Mei 2016

Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Persepsi Masyarakat Adat tentang Konservasi di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja (Studi pada Kampung Papasena Kabupaten Mamberamo Raya)


oleh: Yoseph Watopa

RINGKASAN
.

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja dengan luas 2.018.000 ha, sebelum  penetapan statusnya sebagai kawasan konservasi telah ada kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional dengan aturan adat yang berlaku termasuk kampung Papasena.  Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui dan mengidentifikasi pemanfaatan sumber daya alam masyarakat kampung Papasena di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja; (2) menghitung dan menganalisa nilai ekonomi tempat-tempat penting masyarakat adat adat kampung Papasena di Suaka Margasatwa Mamberamo Foja; (3) mengkaji  Persepsi Masyarakat Kampung Papasena  tentang Konservasi dan Status Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Mamberamo Foja. Teknik pengambilan sampel melalui persentase yaitu 5% dari total populasi pada tahun 2015 sebanyak 620 orang sehingga sampel responden berjumlah 31 orang. Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Metode analisa data digunakan metode pendekatan harga pasar (market price=MP) untuk menghitung manfaat langsung dan tidak langsung, metode kontingensi (contingensi valuation methode=CVM) untuk menganalisa kemauan membayar (WTP) pelestarian spesies buaya, burung cenderawasih dan lokasi sakral dan kemauan menerima (WTA) kompensasi kenaikan harga premi kayu dan bersedia kehilangan lokasi sakral. Analisa regresi linier berganda dilakukan untuk mengukur  variabel-variabel yang berpengaruh terhadap WTP dan WTA. Analisa persepsi responden tentang konservasi, kawasan konservasi dan kondisinya dilakukan melalui skala likert dan tabulasi yang disajikan dalam bentuk deskripsi dan grafik.
Hasil penelitian; kehidupan masyarakat adat kampung Papasena yang tinggal didalam kawasan SM Mamberamo Foja masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Identifikasi sumber pendapatan bagi masyarakat berasal dari kulit buaya, premi kayu per pohon, daging hasil berburu, sagu, pinang, ikan, pemanfaatan sungai sebagai sarana  transportasi yaitu ojek perahu dan adanya kegiatan penelitian yang dilakukan di kampung Papasena. Masyarakat memiliki pengetahuan tentang berbagai tipe lansekap dan hutan. Ada 11 tipe lanskap dan 5 tipe hutan menurut masyarakat Papasena. Kearifan lokal dalam penggunaan lahat terlihat dalam penggunaan lahan secara tradisional dengan sistem zonasi pemanfaatan tradisional dengan aturan adat yang tegas dan jelas.  Zonasi penggunaan lahan tradisional yaitu; 1) Aroki Arekapeake yaitu daerah larang dengan fungsi khusus sebagai daerah penyuplai ketersediaan hewan buruan, daerah persembunyian saat perang, daerah sumber air, daerah cerita asal usul nenek moyang, wilayah ini tertutup bagi umum; 2) Aiperara Awikeidjua yaitu daerah berkebun namun tertutup secara bagi masyarakat lain disebabkan pemiliknya telah meninggal, wilayah ini hanya dibuka atas ijin keluarga pemiliki dan dalam kurun waktu tertentu; 3) Aroki Aretiare yaitu daerah penyimpanan yaitu wilayah dengan luas tertentu yang dibuka oleh pemilik dari tiap klan; 4) Tataroki yaitu daerah mencari makan melalui kegiatan berburu binatang, berburu buaya, mencari ikan dan berkebun.
Nilai ekonomi sumber saya alam SM Mamberamo Foja di Kampung Papasena sebesar Rp. 9.687.224.398,33 / tahun yang terdiri dari nilai ekonomi langsung sebesar Rp. 1.348.700.000,00 (13,92%); nilai ekonomi tidak langsung Rp. 1.517.191.065,00/tahun (15.66%), nilai keberadaan sebesar Rp. 1.798.000.000,00 /tahun (18,56%) dan nilai warisan  sebesar Rp. 4.734.000.000,00  /tahun (48,87%) dan nilai pilihan sebesar Rp. 289.333.333,33/tahn (2,99%). Nilai ekonomi langsung dari kegiatan transportasi sungai berupa ojek perahu kini menjadi salah satu sumber penghasilan yang potensial bagi masyarakat selain mencari kulit buaya yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian utama. Komuditas pinang mengalami peningkatan permintaan sejalan dengan semakin banyaknya konsumen pinang di ibu kota Kasonaweja dengan harga yang cukup tinggi.  Nilai ekonomi tidak langsung dari hutan lindung adat sebagai penyerap karbon merupakan nilai konservasi yang perlu dilestarikan.  Nilai keberadaan yang diperoleh dari WTP  spesies buaya dan burung cenderawasih dan nilai warisan dari WTP lokasi sakral dan merupakan nilai non guna (non use value) yang besar nilainya dibanding dengan nilai guna (use value) . Hal ini menunjukkan adanya  indikasi kesediaan masyarakat terlibat dalam upaya pelestarian bagi kegiatan konservasi spesies dan lokasi sakral tempat-tempat penting mereka. Nilai  pilihan WTA kenaikan harga premi pohon lebih kecil dari nilai warisan WTP lokasi sakral dan nilai WTP buaya dan burung cenderawasih memberi gambaran bahwa masyarakat masih memilih untuk mempertahankan pohon dan hutan mereka bagi generasi yang akan datang.
Respon terhadap kemauan membayar (WTP1) bagi pelestarian spesies buaya dan burung cenderawasih sebesar Rp. 241.666,67 ./per bulan. Secara signifikan WTP1 dipengaruhi oleh variabel pendidikan dan pendapatan hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan semakin besar keinginan untuk membayar bagi pelestarian buaya dan burung cenderawasih. Respon terhadap kemauan membayar (WTP2) bagi pelestarian lokasi sakral sebesar Rp. 636.290,32/bulan. WTP 2 secara signifikan dipengaruhi oleh variabel pendapatan dan lama tinggal yang berarti semakin tinggi pendapatan dan semakin lama seseorang tinggal di kampung mempengaruhi keinginan untuk membayar bagi pelestarian lokasi sakral. Respon terhadap kamauan menerima (WTA) kompensasi kenaikan harga premi kayu perpohon dan bersedia kehilangan lokasi sakral sebesar Rp. 38.888,89/bulan. WTA secara signifikan dipengaruhi oleh variabel pekerjaan yang berarti semakin bervariasi tingkat pekerjaan  dan atau semaikn baik tingkat pekerjaan seseorang mempengaruhi kemauannya untuk menerima kompensasi kenaikan harga premi kayu.
Persepsi responden tentang konservasi dan kawasan konservasi SM Mamberamo Foja tinggi artinya responden pernah mendengar istilah konservasi, kawasan konservasi, tahu bahwa kampung berada didalam kawasan dan memilki pemahaman yang baik mengenai keberadaan spesie buaya dan burung cenderawasih yang dilindungi. Responden secara keseluruhan atau 100% responden menyatakan bahwa kondisi kawasan SM Mamberamo Foja di kampung Papasena masih sangat baik.
Hasil  penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi penelitian valuasi ekonomi lainnya di kawasan konservasi SM Mamberamo Foja dan hasilnya dapat digunakan bagi pengelolaan dan pendekatan terhadap masyarakat adat yang ada didalam kawasan  SM Mamberamo Foja.

DAFTAR PUSTAKA

Bahruni. 1999. Diktat Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bappenas. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD +. Bappenas Jakarta.
Bishop, J.T. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in Developing Countries. International Institute for Environment and Development. London.
Boissiere, M. M,Van Heist. D, Sheil. I, Basuki. S,Frazier. U,Ginting. M,Wan. B, Hariadi. H, Haryadi. H,D, Kristianto. J,Bemei. R,Haruway. E,Marien. H,Koibur. Y,Watopa. I. Rachman dan N, Liswanti.2004.  Pentingnya Sumberdaya Alam bagi Masyarakat Lokal di Daerah Aliran Sungai Mamberamo, Papua, dan Implikasinya bagi Konservasi. Journal of Tropical Ethnobiology  1  (2) : 76 – 95
Conservation International . 1999. The Irian Jaya Biodiversity Conserservation Priority-Setting Workshop Final Report.
Conservation International, Washington, DC, USA.p.20-36.
Conservation Internasional. 2006. Rappid Assessmetn Programe (RAP) 
Conservation International, Washington, DC, USA.
Bulletin of Biologicall assessment(26) : 17-19.
Conservation Internatioan. 2006. Peta Partisipatif Penggunaan Lahan Kampung Papasena. Conservation International Papupa Program. Jayapura
Cox. J. H. 2010 New Guinea Freswater Crocodile Crocodylus novaeguneae Status Survey and Conservation Action Plan. Third Edition, ed. by S.C. Manolis and C. Stevenson. Crocodile Specialist Group: Darwin.
de Fretes, Y. 2007. Kawasan Konservasi dan Pengelolaannya dalam Ekologi Papua.
Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International.  p. 790-817.
Duwi. 2012. Uji Data Kuisioner dengan SPSS. http://duwiconsultan.blogspot.com
Fauzi, A., Suzi Anna, Lis Diatin, Irmadi Nahib, Intan Adhi Putri. 2007. Studi Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung. Laporan Akhir.
Kementerian Lingkungan Hidup.
Fauzi A dan S. Anna. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jakarta : USAID, DKP, dan Mitra Pesisir.
Ika J. 2014. Konservasi Kearifan Lokal Pengelolaan Ikan Asap sebagai Produk Wisata di Kabupaten Situbondo.Tesis.
          Universitas Brawijaya Malang. p.54-54
Kurniati. H. 2002. Spotlight Surveys of New Guinea Freshwater Crocodile (Crocodylus novaeguineae) in Mid-Zone Mamberamo River (Mamberamo and Roufaer System) In Papua Province. Zoo Indonesia. LIPI. (29) : 1-19
Liswanti, N. Indawan,A. Sumardjo dan Sheil. 2004. Persepsi Masyarakat Dayak Merap Dan Punan Tentang Pentingnya Hutan Di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Jurnal Manajemen Hutan Tropika 10 (2)  : 1-13
Luky Adrianto. Mujio dan Yudi Wahyudin. 2004. Modul Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institud Pertanian Bogor.
Mahesi.V. 2008. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam Kebun Raya Cibodas.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mitchel, B. Setiawan, B. Rahmi H,D 2010. Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan.
Gajah Mada University Press.p.82-83
Moeliono, M. G. Limberg. P, Minigh. A,Mulyana. Y, Indriatmoko. N,A, Utomo. Saparuddin,Hamzah. R, Iwan. danE, Purwanto. 2010 Meretas kebuntuan: konsep dan panduan pengembangan zona khusus bagi Taman Nasional di Indonesia.
CIFOR, Bogor, Indonesia.p.2-3
Mukhamadun, T.Efrizal dan S. Tarumun 2008. Valuasi Ekonomi Hutan Ulayat Buluhcina Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Universitas Riau.
Jurnal Ilmu Lingkungan 3 (2) : 55-73
Munasinghe.M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank
Washington, D.C. 20433, U.S.A. p. 32.
Navrud S dan E.D.Mungatana. 1994. Environmental Valuation in Developing Countries: The Recreational Value of Wildlife Viewing. Ecological Economics
Navrud S. 2000. Strenths, Weaknesses and Policy Utility of Valuation Techniques and Benefit Transfer Methods. Invited Paper for the OECD-USDA Workshop The Value of Rural Amenities: Dealing With Public Goods, Non-market Goods and Externalities, Washington D.C. Department of Economics and Sosial Sciences, Agricultural University of Norway
Nurrochmat R.D. 2006. Dasar-dasar Valuasi Ekonomi. [Diktat Kuliah]. Bogor : Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Padmanaba, M., M, Boissière.Ermayanti, H, Sumantri. dan R, Achdiawan. 2012. Pandangan tentang perencanaan kolaboratif tata ruang wilayah di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua,Indonesia: Studi kasus di Burmeso, Kwerba, Metaweja, Papasena dan Yoke..
CIFOR, Bogor.Laporan Penelitian. p.12.
Pattiselanno F. 2003. Some fruit bats (Chiroptera, Pteropodidae) of the Mamberamo River Basin, West Papua, Indonesia.
The Asian Internatioanl Journal of Sciences.Asia Life Sciences 12 (1): 45-56
Pearce, D.W dan Kerry Turner. 1991. Economics of Natural Resources and The Environment Harvester Wheatsheaf.
Pearce, D.W dan D. Moran, 1994.The Economic Value of Biodiversity.IUNC. Earthscan Publication, London.
Richards, S. J. dan S. Suryadi. 2002. A Biodiversity Assessment of Yongsu - Cyclops Mountains dan the Southern Mamberamo Basin, Papua, Indonesia..
Conservation International, Washington, DC, USA.RAP Bulletin of Biological Assessment (25) : 27- 43.
Sheil,D. R,K,Puri. I, Basuki. M, van Heist. M, Wan. N, Liswanti. Rukmiyati , M, Agung. Sardjono, I, Samsoedin.K, Sidiyasa. Chrisandini.E, Permana. E,A, Mangopo. R, Gatzweiler. B, Johnson  dan A, Wijaya. 2004. Mengekspolari Keanekaragaman Hayati, Lingkungan dan Pandangan Masyarakat Lokal tentang berbagai Lansekap.
          CIFOR.Bogor. p.2-8.
Watopa, Y. 2004. Multidisciplinary Landscape Assesstmen (MLA) di Kampung Papasena Mamberamo. Laporan Penelitian.
Conservation International Papua Program.Jayapura.
Watopa, Y. 2006. Sustainable Use Option Plan;Pilihan Rencana Pemanfaatan Hasil Alam Berkelanjutan di Mamberamo. Laporan Penelitian.
Conservation Internatioanal  Indonesia Papua Program. Jayapura.  p.12-15.
Watopa, Y. Susan Maniagasi, Victor Ginuni, Richard Warinussa, Mathan Waroy, Mathius Kooh dan Tommy Wakum. 2013. Perencanaan Kolaboratif Tata Ruang Kabupaten Mamberamo Raya, Perspektif Masyarakat Adat Kampung Suaseso. Laporan Penelitian
Conservation International Indonesia Papua Program. Jayapura.
Widodo.D.A.T., Prabang Setyono dan I Gusti Ayu KRH. 2014 Program  Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali Dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi Dan Daya Dukung Lingkungan Di Taman Nasional Gunung Merbabu
Jurnal Ekosains  2 (4) :  26-38