Senin, 13 Februari 2017

Cerita Dari Kampung



Terbentuknya Kampung Kerema
Kerema adalah nama salah satu kampung di Distrik/Kecamatan Benuki Kabupaten Mamberamo Raya. Untuk sampai ke kampung Kerema melalui Serui dengan menggunakan boat selama kurang lebih 5 jam melewati Selat Saireri dan meyusuri hutan bakau melalui kali Bime hingga menyatu dengan kali Gesa lokasi dimana kampung Kerema berada sekitar 7 km dari tepi kali Gesa.
 Orang Kerema terdiri dari dua suku besar yaitu suku Oedate dan suku Aigori atau Zagoi. Kedua suku ini bergabung menjadi kampung Kerema dengan latar belakang saling melindungi dari perang suku. Lokasi Kampung Kerema adalah milik suku Oedate. Bahasa yang digunakan disebut bahasa Oedaida.
Perpindahan dari lokasi kampung   yang menjadi wilayah adat suku Oedate diawali dengan cerita tentang dua orang anak laki-laki dan perempuan yang dipelihara oleh kakek/tete dan neneknya di kampung tua Damahe karena ayah ibu mereka telah meninggal. Anak laki-laki bernama Kinikoba dan perempuan bernama Waoha. Suatu ketika masyarakat kampung membuat pesta besar selama beberapa hari. Kedua anak ini ingin sekali untuk pergi ke pesta tersebut namun dilarang oleh kakek dan neneknya karena nanti kedua anak ini tidak diberi makan oleh orang-orang di pesta itu. Peristiwa itupun terjadi. Hari pertama saat pesta, orang kampung memukul tifa dan menari, lalu beristirahat untuk makan. Ketika merak makan, kedua anak ini hanya diberikan sisa-sia makanan mereka yaitu tulang-tulang dan tempurung kelapa. Hari berikutnya terjadi seperti demikian, hingga hari ketiga. Kedua anak ini pun tidak tahan dan memberitahukan kepada kakek meraka. Merasa tersinggung dengan apa yang dibuat oleh orang kampung kepada kedua cucunya maka si kakek membuat rencana khusus bagi orang kampung melalui manteranya. Ia mengambil seekor ikan gabus dari sungai, lalu menaruhnya didalam nibung yang telah diisi air dan ia memberi mantra gaib pada ikan gabus tersebut sehingga berubah menjadi buaya. Hal ini dicobanya beberap kali dan berhasil. Kemudian Ia mengatur rencana dengan menyiapkan akar pohon kayu merah, sagu mentah dan anakan sagu, tombak, dan penokok, lalu ia menaruh kedua cucunya diatas akar tersebut, setelah itu ia membuat manteranya. Ketika ia membaca manteranya maka terjadilah banjir besar, ikan gabus berubah menjadi buaya yang sangat ganas. Tempat dimana buaya itu berjalan diikuti oleh air dan banjir. Buaya itupun masuk ke tempat pesta dan banjirpun ikut naik dan buaya itu memakan habis semua orang kampung termasuk kakek dan nenek tersebut. Saat banjir terjadi, kedua anak ini telah berada diatas akar kayu merah yang telah disiapkan oleh kakek mereka besarta bekal yang mereka miliki. Kedua anak ini hanyut dari lokasi Damahe dan terdampar di Tanjung Rande ujung Pulau Kaipuri. Lalu kedua anak ini tinggal dan membuka kebun dengan menanam bibit sagu yang hanyut bersama mereka. Mereka membuat perahu besar dari akar kayu merah tersebut. Saat mereka tinggal, datanglah dua orang  dari kampung Kaipuri yaitu kakak beradik laki-laki dan perempuan. Mereka pun sepakat untuk kawin tukar antar kedua kakak beradik tersebut.
Dari hasil perkawinan ini meraka memiliki anak yang banyak. Menyadari bahwa tempat mereka tinggal bukanlah milik mereka maka kedua kakak beradik Kinikoba dan Waoha  memanggil anak dan cucu mereka lalu memberi perintah kepada mereka untuk kembali ke lokasi asal mereka di Damahe. Si laki-laki menunjuk gunung Womisopedai yang terlihat kebiru-biruan dari Pulau Kaipuri dan memberitahukan bahwa lokasi kampung tua  mereka berada pada lembah disebalah timur dari  kaki gunung tersebut. Perahu besar disiapkan dari kayu merah, lalu semua anak cucu naik diatas perahu tersebut menuju ke tanah besar. Kedua kakak beradik yaitu Kinikoba dan Waoha ini tinggal di ujung tanjung Kaipuri dan menjadi batu disana.
Dengan perahu yang terbuat dari kayu merah generasi baru dari Kinikoba dan Waoha berlayar hingga masuk ke Barapasi. Dari Barapasi mereka berjalan ke arah timur untuk mencari lokasi kampung tua yang ditunjuk oleh Kinikoba.
Di tengah jalan terjadilah pertengkaran diantara anak cucu mereka. Ketika musim buah jambu merah anak-anak membuat jubi lalu memanah jambu. Salah seorang anak terkena panah, terjadilah pertengkaran sehingga orang tua pun saling membela anak meraka. Terbagilah dua kelompok, yang satu berjalan ke arah barat menuju gunung Tonater dan tinggal menetap disana hingga sekarang. Kelompok  yang satunya berjalan mencari lokasi kampung tua Damahe.
Meraka yang berjalan ke kampung tua Damahe melihat suatu lembah yang penuh dengan pohon sagu dan beranggapan bahwa itulah lokasi kampung mereka yang ditunjuk oleh Kinikoba moyang meraka. Lembah itu adalah lembah dikaki gungun Benuki. Salah satu laki-laki dari orang Oedate ini memantau suatu lokasi lembah sagu dan ternyata sudah ada kelompok masyarakat yang tinggal membentuk kampung, mereka adalah orang Anasi.
Si laki-laki ini mengambil buah sagu sebanyak mungkin lalu memasukkan didalam topi kerucutnya. Ketika ia sampai di pondoknya, ia membaringkan diri dan membuat seperti sakit demam. Isterinya memijatnya dan saat melepaskan topi kerucutnya jatulah buah-buah sagu yang banyak. Beritapun tersebar bahwa ada lokasi yang subur ditumbuhi oleh banyak sagu, namun ada perkampungan didalamnya. Maka orang-orang Oedate ini menyiapkan busur dan anak panah selama sebulan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak semuanya menyiapkan peralatan perang dan makanan. Tibalah waktu untuk menyerang. Orang Oedate memukul kalah orang Anasi dari lembah hingga kampung mereka di Gunung Benuki. Mereka menduduki rumah-rumah orang Anasi dan lokasi itu mereka menempati berdasarkan marga-marga yang menempati rumah-rumah orang Anasi.
Dari Benuki inilah terbentuklah kehidupan orang Oedate yang kemudian disebut sebagai orang Kerema yang menetap sebagai sebuah kampung. Mereka mengambil sagu dari dusun sagu Benuki yang luas dan kehidupan meraka menetap disana. Namun sejalan dengan perkembangan waktu, orang Oedate ingin berkomunikasi dengan diluar untuk mendapatkan barang-barang seperti parang, belanga maka meraka keluar dan menetap di Ebahe ditepi kali Mewao dan membentuk kampung disana.
Ditepi kali Mewao inilah awal mula hubungan dengan orang luar terutama para guru injil yang memberitakan injil dan membentuk kampung dengan rumah-rumah yang permanen. Di sini pula pemerintahan resmi  masuk menjamah orang-orang di lembah Benuki mulai dari Kerema, Anasi, Dadat, Baita dan Nisa. Kampung Kerema adalah kampung Pemerintahan Pertama yang membawahi beberapa kampung kecil yaitu Anasi, Dadat, Baita dan Nisa. Tahun 1971 diangkat pertama kali kepala kampung yaitu Alm Bapak Dominggus Kedebak. Dibawah kepemimpinananya ia menata Kampung Kerema dengan membangun Sekolah Dasar pertama bersama pemerintah Kabupaten Yapen Waropen saat itu. Kehidupan mereka berjalan baik hingga masuknya perusahaan HPH pada tahun 1994. Hutan mereka dibabat dan kali-kali kecil menjadi dangkal mengakibatkan banjir, sehingga pada tahun 1997 mereka pindah dari tepi kali Mewao dan membangun kampung dilokasi tepi kali Sanawao hingga sekarang.
Suku Aigori/Zagoi adalah orang-orang yang tinggal di Gunung Kiha atau Kiha Nohia dengan nama kampung Zagonuhe dan bergabung bersama suku Oedate menjadi Kampung Kerema. Cerita asal mereka bisa bergabung dengan suku Oedate, diawali dengan perang suku berkepanjangan antara orang Aigori dengan orang Baudi. Karena sering mengalami kekalahan maka suatu ketika  suku Baudi mengatur rencana perang untuk mengalahkan suku Aigori. Suku Baudi mengajak enam suku lain bergabung dengan mereka. Lalu mereka mengajak orang Aigori untuk menukar budak. Kepala perang suku Aigori bernama Zagaya memiliki anak mantu bernama Syadatea. Ketika orang Baudi mengajak untuk pertukaran budak, Zagaya sedang mengalami sakit keras. Anak mantunya Syadatea menawarkan diri untuk memimpin pasukan perang dan masyarakat suku Aigori menghadapi orang Baudi.
Saat perundinganpun tiba. Orang Baudi yang sudah memiliki rencana tersendiri memilih lokasi pertukaran budak yang strategis untuk mengalahkan orang Aigori. Perundingan dilakukan disebuah tanjung di kali Gesa. Orang Aigori tidak menyadari bahwa ketika mereka masuk ke ujung tanjung tersebut, mereka telah dikepung dari belakang oleh orang Baudi dengan bantuan enam suku lainnya.  Tawar menawar dari sebelah-menyebelah sungai diujung tanjung terjadi begitu lama dan sengaja diulur-ulur oleh orang Baudi hingga memancing kemarahan dari Syadatea dan orang-orang Aigori. Merasa dipermainkan dan ditipu, maka Syadatea memulai peperangan. Pertempuran begitu dashyat dan saling menyerang dan tanpa disadari Syadatea dan pasukannya telah diterkurung dari belakang dan mereka terdesak masuk ke sungai yang didepannya juga ada orang Baudi. Terkurung dan terpukul kalah Syadatea dan orang-orang Aigori. Hanya satu orang yang selamat, yaitu seorang perempuan tua yang bersembunyi didalam lubang kura-kura. Ia membawa berita kepada Zagaya. Dan Zagaya segera mencari bantuan, ia pun pergi dari Zagonuhe dan bertemu dengan suku Oedate di Benuki dan kawin dengan salah satu perempuan dari suku Oedate dan mendapatkan keturunan marga Zodat dan Ebakdat. Sejak itu mereka hidup menjadi orang Oedate di Benuki dan mengalami perpindahan bersama suku Oedate dari Benuki ke Tepi Kali Mewao dan pindah lagi ke Tepi Kali Sanawao yang menjadi lokasi Kampung Kerema sekarang.
          Tabel . Suku dan Marga di Kampung Kerema
No
Suku
Marga
1
Oedate
1.      Kedebak
2.      Babak
3.      Bubak
4.      Meumat
5.      Niabak
6.      Naodetom
2
Aigori/Zagoi
1.      Zodat
2.      Ebakdat
3.      Meudebak


Pemerintahan resmi Kampung Kerema dimulai tahun 1971 dengan kepala kampung pertama almarhum Dominggus Kedebak yang memimpin hingga tahun 1994. Tahun 1994-2014 Kampung Kerema dipimpin oleh Permenas Meumat. Dan Tahun 2014 terjadi pemilihan kepala kampung baru dan mengangkat Gerson Zodat menjadi kepala kampung Kerema yang baru.  Sehingga kampung Kerema telah mengalami tiga kali kepemimpinan kepala kampung.

Sumber: Wawancara Kepala Suku Aigori (Mesak Zodat dan Sekretaris Kampung Kerema Simson Babak)