Rabu, 18 Mei 2016

PEREMPUAN PERDAMAIAN

Oleh: Yoseph Watopa

Suku Sawi , salah satu suku di Papua menjadi terkenal di dunia dengan kisah hidup dan tradisi mereka yang ditulis oleh seorang penginjil terkenal Don Richardson dengan judul “Anak Perdamaian”.  Secara garis besar kisah ini menceritakan tentang kebiasaan pra Kristen suku Sawi yang kanibal dengan cara menjalin persahabatan kemudian menghianati sahabat dengan memelihara sahabat hingga menjadi gemuk lalu dibunuh dan dimakan oleh mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan antara suku yang tinggi dan menimbulkan perang suku terus menerus.  Namun ada  tradisi mereka untuk perdamaian antar suku jika tidak ada jalan lain untuk berdamai. Seorang ayah dari satu pihak menyerahkan anak kandungnya sendiri, seorang bayi, kepada pihak musuh dan pihak musuh pun menyerahkan anak bayi mereka dan mereka membuat janji lisan dari kedua pihak untuk mempertahankan perdamaian  selama anak itu masih hidup. Perjanjian ini disaksikan oleh masyarakat kedua belah pihak dengan cara meletakkan telapak tangan atas anak perdamian itu sebagai tanda meraka anan ikut menjaga perdamaian antara kedua pihak. Tradisi anak perdamaian ini kemudian dijadikan sebagai sarana penginjilan oleh Don Richardson bagi suku Sawi dan suku-suku yang berperang dengan mereka.













Foto: Mama Dina Kedebak
 



Kisah anak perdamaian sebagai tradisi untuk mengakhiri perang suku adalah salah satu dari budaya perdamaian di Papua.  Kisah “Perempuan Perdamaian” yang ditulis ini bukanlah sebuah  tradisi atau budaya  seperti cerita anak perdamaian namun kisah ini mencoba mengangkat suatu strategi  dan keputusan yang diambil oeh seorang kepala suku bagi penyelesaian konfiik perang suku berkepanjangan antara suku Oedate dari Kampung Kerema dan suku Baudi Kamai di lembah Benuki dan pengorbanan jiwa dan raga  yang diterima oleh seorang perempuan demi mengakhiri perang suku.

Adalah mama Dina Kedebak (50 tahun) seorang perempuan dari suku Oedate kampung Kerema menjadi tokoh dan pelaku sejarah perdamaian antara suku Oedate dan suku Baudi Kamai. Perang adat antara suku Baudi Kamai dan suku Oedate yang berkepanjangan memperebutkan wilayah mencari makan berlangsung terus menerus dan tidak dapat dihentikan. Ketika itu seorang kepala suku besar di lembah Benuki bernama Dominggus Kedebak yang membawahi beberapa suku yang sekarang menjadi kampung yaitu Kerema, Dadat, Baita, Nisa, Usia dan Watiaro berupaya untuk mencari jalan damai dengan suku Baudi Kamai. Perang suku yang berlangsung terus memakan korban jiwa dari kedua belah pihak. Saat itu kepala suku besar Dominggus Kedebak berpikir bagaimana caranya untuk menghentikan perang suku ini. Kemudian terlintas dibenaknya untuk mengambil langkah memberikan perempuan dari suku mereka kepada suku Kamai sebagai tanda ikatan perdamaian. Ketika itu Dina Kedebak saudara kandung dari Dominggus Kedebak masih berusia 13 tahun dipaksa untuk kawin dengan seorang kepala perang dari suku Kamai. Dina mengalami kekerasan, ia diancam, dipaksa, dipukul  bahkan akan dibunuh agar  mau menerima dikawinkan dengan kepala perang suku Kamai yang adalah musuh mereka. Perkawinan paksa inipun terjadi didepan beberapa tokoh kepala perang dari dua suku tersebut. Tidak punya pilihan lain, dalam ketidakberdayaan dan tekanan saudara laki-lakinya selaku kepala suku  ia menerima perkawinan paksa tersebut.

Perkawinan paksa yang dilakukan oleh Dominggus Kedebak dengan mengorbankan saudara perempuannya ini menjadi benih perdamaian antara kedua suku yang berperang sekian lama. Dina melahirkan anak-anak yang kini dapat menjadi penghubung antara suku Oedate di Kampung Kerema dan Suku Baudi Kamai. Kini mereka bisa hidup berdampingan, bertukar lokasi mencari sagu dan binatang buruan.

Pengorbanan yang dilakukan oleh mama Dina Kedebak membuka jalan bagi perdamain kedua suku. Jalan perdamaian ini menghentikan  perang suku dan memberi ruang masyarakat untuk menerima pihak luar termasuk gereja dan pemerintah untuk menyentuh kedua kelompok masyarakat hingga sekarang.