Oleh: Yoseph Watopa
Suku Sawi , salah satu suku di Papua menjadi terkenal di
dunia dengan kisah hidup dan tradisi mereka yang ditulis oleh seorang penginjil
terkenal Don Richardson dengan judul “Anak Perdamaian”. Secara garis besar kisah ini menceritakan tentang
kebiasaan pra Kristen suku Sawi yang kanibal dengan cara menjalin persahabatan
kemudian menghianati sahabat dengan memelihara sahabat hingga menjadi gemuk
lalu dibunuh dan dimakan oleh mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan antara
suku yang tinggi dan menimbulkan perang suku terus menerus. Namun ada
tradisi mereka untuk perdamaian antar suku jika tidak ada jalan lain
untuk berdamai. Seorang ayah dari satu pihak menyerahkan anak kandungnya
sendiri, seorang bayi, kepada pihak musuh dan pihak musuh pun menyerahkan anak
bayi mereka dan mereka membuat janji lisan dari kedua pihak untuk
mempertahankan perdamaian selama anak
itu masih hidup. Perjanjian ini disaksikan oleh masyarakat kedua belah pihak
dengan cara meletakkan telapak tangan atas anak perdamian itu sebagai tanda
meraka anan ikut menjaga perdamaian antara kedua pihak. Tradisi anak perdamaian
ini kemudian dijadikan sebagai sarana penginjilan oleh Don Richardson bagi suku
Sawi dan suku-suku yang berperang dengan mereka.
Foto: Mama Dina Kedebak
|
Kisah anak perdamaian sebagai tradisi untuk mengakhiri
perang suku adalah salah satu dari budaya perdamaian di Papua. Kisah “Perempuan Perdamaian” yang ditulis ini
bukanlah sebuah tradisi atau budaya seperti cerita anak perdamaian namun kisah ini
mencoba mengangkat suatu strategi dan
keputusan yang diambil oeh seorang kepala suku bagi penyelesaian konfiik perang
suku berkepanjangan antara suku Oedate dari Kampung Kerema dan suku Baudi Kamai
di lembah Benuki dan pengorbanan jiwa dan raga
yang diterima oleh seorang perempuan demi mengakhiri perang suku.
Adalah mama Dina Kedebak (50 tahun) seorang perempuan
dari suku Oedate kampung Kerema menjadi tokoh dan pelaku sejarah perdamaian
antara suku Oedate dan suku Baudi Kamai. Perang adat antara suku Baudi Kamai
dan suku Oedate yang berkepanjangan memperebutkan wilayah mencari makan
berlangsung terus menerus dan tidak dapat dihentikan. Ketika itu seorang kepala
suku besar di lembah Benuki bernama Dominggus Kedebak yang membawahi beberapa
suku yang sekarang menjadi kampung yaitu Kerema, Dadat, Baita, Nisa, Usia dan
Watiaro berupaya untuk mencari jalan damai dengan suku Baudi Kamai. Perang suku
yang berlangsung terus memakan korban jiwa dari kedua belah pihak. Saat itu
kepala suku besar Dominggus Kedebak berpikir bagaimana caranya untuk
menghentikan perang suku ini. Kemudian terlintas dibenaknya untuk mengambil
langkah memberikan perempuan dari suku mereka kepada suku Kamai sebagai tanda
ikatan perdamaian. Ketika itu Dina Kedebak saudara kandung dari Dominggus
Kedebak masih berusia 13 tahun dipaksa untuk kawin dengan seorang kepala perang
dari suku Kamai. Dina mengalami kekerasan, ia diancam, dipaksa, dipukul bahkan akan dibunuh agar mau menerima dikawinkan dengan kepala perang
suku Kamai yang adalah musuh mereka. Perkawinan paksa inipun terjadi didepan
beberapa tokoh kepala perang dari dua suku tersebut. Tidak punya pilihan lain,
dalam ketidakberdayaan dan tekanan saudara laki-lakinya selaku kepala suku ia menerima perkawinan paksa tersebut.
Perkawinan paksa yang dilakukan oleh Dominggus Kedebak
dengan mengorbankan saudara perempuannya ini menjadi benih perdamaian antara
kedua suku yang berperang sekian lama. Dina melahirkan anak-anak yang kini
dapat menjadi penghubung antara suku Oedate di Kampung Kerema dan Suku Baudi
Kamai. Kini mereka bisa hidup berdampingan, bertukar lokasi mencari sagu dan
binatang buruan.
Pengorbanan yang dilakukan oleh mama Dina Kedebak membuka jalan bagi perdamain kedua suku. Jalan perdamaian ini menghentikan perang suku dan memberi ruang masyarakat untuk menerima pihak luar termasuk gereja dan pemerintah untuk menyentuh kedua kelompok masyarakat hingga sekarang.
Pengorbanan yang dilakukan oleh mama Dina Kedebak membuka jalan bagi perdamain kedua suku. Jalan perdamaian ini menghentikan perang suku dan memberi ruang masyarakat untuk menerima pihak luar termasuk gereja dan pemerintah untuk menyentuh kedua kelompok masyarakat hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar